GADIS PANTAI
Judul : Gadis Pantai
Penerbit : Lentera Dipantara
Penulis : Pramudya Ananta Toer
Tebal : 270 halaman
Kategori : Novel Roman
Pramoedya
Ananta Toer lahir di Blora, 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta, 30
April 2006 pada usia 81 tahun. Beliau termasuk pengarang produktif pada
masa itu, buktinya meskipun berada dalam buih, beliau tetap menghasilkan
karya. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan
diterjemahkan dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Ia
merupakan salah satu sastrawan Indonesia yang hampir separuh hidupnya
dihabiskan di dalam penjara; tiga tahun dalam penjara colonial, satu
tahun di masa Orde Lama, dan 14 tahun pada masa Orde Baru tanpa proses
pengadilan. Dalam masa-masa hidupnya di dalam bui, Pramoedya
menghasilkan beberapa karya, diantaranya adalah Tetralogi Buru (Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
Setiap kali membaca tulisan-tulisan Pramoedya Ananta Toer, kita pasti
selalu merasa kagum. Di setiap lembaran kita menemukan sesuatu. Bukan
hanya bahasa saja yang menarik tetapi juga idealisme. Karya-karyanya
terlalu banyak melontarkan humanisme. Pramoedya mengaku tema seperti itu
dalam sebagian besar tulisannya banyak dipengaruhi oleh Multatuli,
pengarang Max Havelaar yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah
menjadi manusia. Beliau juga belajar tentang humanisme daripada
karya-karya John Steinbeck dan menelusuri ideologi daripada penulis
agung Rusia, Mar Xim Gorky.
Melalui watak-watak tertentu, yang pastinya perwatakan dari golongan
kelas bawah, Pramodya mewujudkan watak hero yang menentang berbagai
situasi yang tidak manusiawi. Antaranya feodalisme priyayi Jawa,
kolonialisme dan imperialisme. Watak-watak hero itu akan mengkritik,
membidas dan mengutarakan pandangan-pandangan tertentu yang mewakili
golongan masyarakat bawahan di Jawa. Pandangan tidak manusiawinya
feodalisme Jawa dikritik dengan begitu luas oleh Pramoedya terutama
dalam Gadis Pantai. Ia mengangkat kisah betapa rendahnya seorang rakyat
kecil hanya sama dengan sebilah keris pembesar.
Inilah
potret nasib buruk kaum perempuan desa di bawah feodalisme Jawa selama
beberapa abad bahkan sampai abad 20. Tokoh utamanya hanya disebut Gadis
pantai, walau tanpa nama dia mewakili segolongan kaum wanita dari
keluarga desa yang miskin dan tidak berpendidikan. Settingnya adalah
kabupaten Rembang di pantai utara Jawa pada awal abad 20.
Suatu hari dia dikawini oleh seorang pribumi pejabat pemerintah kolonial
yang tidak dia kenal. Apa yang dia tahu hanyalah dia harus taat dan
hormat pada suaminya yang dipanggil bendoro (sebutan kehormatan untuk
kaum feodal Jawa). Sampai menikah dan punya anakpun dia tidak memiliki
hubungan hati ke hati dengan suaminya. Tidak ada hubungan manusiawi. Di
rumah tempat tinggalnya ada bagian di mana dia tidak pernah menginjakkan
kaki, bahkan masih ada ruangan yang baginya tetap asing selamanya. Di
rumah kabupaten itu ada beberapa anak yang tidak ada ibunya karena
mereka sudah dicerai sedangkan anak-anak itu diasuh pembantu.
Roman yang menjadi sekuel pertama dari trilogi roman keluarga ini adalah
roman yang indah dan mempesona. Pramodya berhasil membongkar dan
menunjukkan kontradiksi negative praktik feodalisme Jawa yang tidak
memiliki adab dan jiwa kemanusiaan. Tentu saja, roman ini berhasil
menusuk feodalisme jawa yang tepat pada jantungnya.
Novel
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer, merupakan novel pertama dari
trilogi yang ditulisnya, sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua
buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa,
kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Gadis Pantai pun
dipastikan tak akan pernah ada jika pihak Universitas Australia( ANU) di
Canberra tidak mendokumentasikannya dan lewat Savitri P. Scherer(
mahasiswi) yang mengambil tesis. Novel yang bercover gambar seorang
gadis pantai yang memakai kebaya hijau dan kain coklat, bersanggul
dengan mimik yang polos serta gambar Bendoro yang di kawal ajudannya
dengan payung memayungi Bendoro disertai back ground pantai dengan
langit yang sangat cerah bercerita mengenai relasi antara mas nganten
dengan pembesar yang “memeliharanya”. Pembesar atau Ndoro merupakan
orang Jawa yang berdarah biru yang memiliki korelasi dengan pemerintah
Belanda. Novel ini sangat kritis sekali membicarakan feodalisme Jawa
pada masa itu. Pada dasarnya novel ini menyuarakan suara rakyat jelata,
rakyat dari golongan bawah dalam sistem feodalisme Jawa, para priyayi
yang bercokol di kaki-kaki pemerintah Belanda. Perbedaan yang sangat
mencolok, bahwa status sosial sangatlah penting di masa itu. Golongan
priyayi (termasuk kaum bendoro) adalah orang-orang suci yang sulit untuk
disentuh, mereka berhak memperlakukan apa saja terhadap rakyat
bawahnya, termasuk mengawini anak-anak gadis mereka dijadikan sebagai
Mas Nganten yang akhirnya dicampakkan begitu saja. Bagaimana kehidupan
baru si gadis pantai selama menjadi isteri Bendoro?? Apakah si gadis
pantai merasa bahagia atau malah sebaliknya?? Lalu siapakah Mardinah
itu? Adakah hubungan dengan Bendoro? Kemudian mengapa si gadis pantai
bisa di usir dari rumah gedong lalu dicerai oleh Bendoro? Apa yang
sebenarnya terjadi? Bagaimana kisah selanjutnya setelah gadis pantai di
usir dari gedong, kemanakah gadis pantai pergi? Novel yang berjudul
Gadis Pantai ini sangatlah menarik untuk dibaca, banyak pesan yang
terkandung di dalamnya, perbedaan status sosial yang menjadi penyebabnya
dalam waktu penjajahan.